Senin, 18 Januari 2010

Sejarah Anestesiologi di Indonesia


Perkembangan anestesiologi di Indonesia telah dimulai sebelum jaman Perang Dunia II. Pada masa itu, di waktu pendudukan Belanda, anestesiologi mulai diajarkan di CBZ (Central Bugerlijk Ziekenhuis), sekarang dikenal sebagai RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) yang dipergunakan sebagai RS pendidikan.

Anestesiologi diajarkan sebagai salah satu topik dalam mata pelajaran Ilmu Bedah, dan tindakan anestesia umum dilakukan oleh para dokter asisten bedah (biasanya yang termuda) dan para co-asisten bagian bedah.

Perhatian utama ditujukan masih pada pembedahan, bukan pada anestesinya. Pada saat itu belum ada dokter yang mengkhususkan diri di bidang anestesi. Anestesi menjadi suatu ketrampilan yang harus dimiliki oleh dokter bedah atau dokter lain yang melakukan pembedahan. Di rumah sakit lain, terutama di luar Jawa, pelayanan anestesia umum diserahkan kepada tenaga paramedik yang dididik oleh dokter bedah yang bersangkutan.

Keadaan darurat dan perang pada masa pendudukan Jepang dan masa perjuangan kemerdekaan membuat anestesiologi tidak berkembang lebih jauh lagi. Para mahasiswa kedokteran pada waktu itu diikutsertakan dalam pemberian pelayanan di luar rumah sakit pendidikan dan kalau perlu di lapangan termasuk dalam memberikan pelayanan anestesia.

Sesudah PD II, dunia kedokteran mendapat pengaruh besar dari negara yang menang perang, seperti Inggris dan Amerika. Indonesia tidak terlepas dari pengaruh tersebut. Pada permulaan kemerdekaan seorang dokter Belanda, bukan ahli bedah, bernama Reeser membawa ketrampilan melakukan anestesia umum modern ke Indonesia dengan cara endotrakeal dan mempergunakan mesin anestesia.

Kepala Bagian Bedah CBZ waktu itu, Prof. M. Soekarjo, menyadari betul bahwa kemajuan ilmu bedah pada khususnya dan ilmu yang melakukan pembedahan pada umumnya tidak akan maju seperti yang diharapkan kalau tidak ada asistennya yang bekerja sepenuhnya dalam bidang anestesiologi. Beliau mengirimkan asistennya yang termuda Dr. Mochamad Kelan Koesoemodipuro untuk mempelajari anestesiologi di Amerika selama tiga tahun, yaitu di University of Minnesota dan Gouvesnier Hospital New York. Meskipun awalnya Dr. Kelan menolak sampai 2 kali, namun akhirnya beliau setuju untuk berangkat.

Sekembalinya di Indonesia pada tahun 1954, Dr. Kelan menghadapi berbagai masalah. Setelah belajar di Amerika selama tiga tahun dengan alat yang lengkap dan obat modern, Dr. Kelan harus kembali ke Indonesia untuk kembali bekerja dengan obat yang sangat terbatas dan alat yang tidak lengkap. Masalah tenaga kerja juga menjadi persoalan, karena sejak adanya Seksi Anestesi di Bagian Bedah, maka pekerjaan yang berhubungan dengan anestesia hanya dilakukan oleh mereka yang bertugas pada seksi itu saja termasuk tugas pendidikan anestesiologi. Namun dengan berbagai kendala tersebut, Dr. Kelan dan Dr. Oentoeng Kartodisono tetap berusaha merintis dan mengembangkan anestesiologi di Indonesia.

Dalam era tahun 1960-an, dokter-dokter dari Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Padang, Medan dan belakangan Ujung Pandang serta rumah sakit lain di Jakarta datang ke RSCM untuk mempelajari anestesiologi. Kebanyakan dokter anestesiologi yang dididik di Indonesia juga diberi kesempatan menambah pengetahuan ke luar negeri yaitu ke Amerika, Belanda, Inggris, Denmark, Swedia, Jepang dan Australia. Sekembalinya di Indonesia mereka disebarkan ke beberapa rumah sakit besar di Jawa, Dr. Sadono ke RS Gatot Subroto, Dr. Haditopo ke Semarang dan Dr. Zuchradi ke Bandung.

Lambat laun Seksi Anestesiologi Bagian Bedah RSCM berkembang menjadi pengawas dan akhirnya pelaksana dari seluruh pelayanan anestesia di RSCM. Pada tahun 1964, atas persetujuan bagian-bagian yang melakukan pembedahan, oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan pimpinan rumah sakit Cipto Mangunkusumo, didirikanlah Bagian Anestesiologi tersendiri lepas dari bagian Bedah dengan tugas menangani segala hal yang berhubungan dengan anestesiologi baik yang bersifat pendidikan maupun pelayanan umum. Pada waktu itu staf Bagian Anestesiologi baru berjumlah 7 orang. Pada era 1970-an adalah masa kebangkitan anestesiologi di Indonesia. Pelayanan anestesiologi mulai dilakukan oleh dokter ahli. Pada tahun 1973 dr. Moch Kelan dikukuhkan menjadi Guru Besar Anestesiologi yang pertama di Indonesia.

Unit Terapi Intensif RSCM berdiri tahun 1971 dan menjadi yang pertama di Indonesia dengan Dr. Muhardi menjadi Kepala Unit Terapi Intensif FKUI/RSCM yang pertama. Beliau dikukuhkan menjadi guru besar FKUI pada tahun 1991. Sejak saat itu Terapi Intensif sebagai bagian dari anestesiologi berkembang dengan pesatnya. Dokter-dokter yang menekuni terapi intensif seperti Dr. Suroso, Dr. Indro Mulyono, Dr. Sudarsono, Dr. Kristanto Sulistyo dan Dr. Said A. Latief dikirim untuk memperdalam ilmunya di Melbourne, Australia.

Resusitasi Jantung Paru sebagai bagian yang tak terpisahkan dari anestesiologi juga mulai berkembang. Dr. Sunatrio, Dr. Jusrafli dan Dr. Y.A. Kasim adalah perintis pengenalan resusitasi jantung paru pada orang awam. Menyadari pentingnya pendidikan resusitasi jantung paru bagi para calon dokter, membuat Konsorsium Ilmu Kedokteran memutuskan memasukan anestesiologi ke dalam kurikulum inti pendidikan dokter pada tahun 1980.

Subbagian lainnya seperti Anestesia Bedah Paru, Anestesia Bedah Jantung, Anestesia Regional, Anestesia Bedah Syaraf, Anestesia Pediatrik dan lainnya juga berkembang pesat. Anestesia Bedah Paru diperkenalkan oleh Dr. M. Roesli Thaib, yang kelak menjadi Guru Besar Anestesiologi FKUI. Beberapa tahun terakhir ini dalam ilmu Anestesiologi dan Reanimasi mulai dikembangkan pengelolaan pasien gawat darurat, klinik pengelolaan nyeri dan Detoksifikasi Opiat Cepat dengan Anestesia.

Pada tanggal 1 Juni 1967 berdirilah Ikatan Ahli Anestesiologi Indonesia (IAAI) sebagai organisasi yang mempersatukan seluruh ahli anestesiologi di Indonesia. Awalnya hanya memiliki 4 cabang, yaitu Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada Kongres Nasional (KONAS) IAAI kedua di Bandung tahun 1988, nama IAAI diubah menjadi Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia (IDSAI) dan pada KONAS IDSAI kelima di Yogyakarta tahun 1998, nama organisasi diubah lagi menjadi Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi, dengan singkatan tetap IDSAI. Saat ini IDSAI telah memiliki 12 cabang, dan Solo merupakan cabang termuda yang telah dikukuhkan dalam KONAS IDSAI keenam di Jakarta tahun 2001.

Anestesiologi di Indonesia dalam usianya yang relatif masih muda telah berhasil menunjukkan eksistensinya sebagai salah satu cabang ilmu dan spesialisasi yang sangat dibutuhkan pada saat ini dan pada masa yang akan datang. Semuanya tidak terlepas dari jasa para perintis yang telah memberikan jerih payahnya bagi perkembangan anestesiologi di negeri ini. Terima kasih yang tulus dari kita semua.

(disadur dari http://www.anestesiologi-indonesia.org)

Minggu, 17 Januari 2010





The History of Anesthesia

"Gentlemen, this is no humbug"
Dr John Collins Warren, 17 October 1846

THE FIRST MEDICINE PRACTISE: ANESTHESIA??
GOD was first: "And the Lord God caused a deep sleep to fall upon Adam, and he slept." (Genesis 2:21). A date is not given.

FIRST TERM.
The Greek philosopher DIOSCORIDES first used the term anesthesia in the first century AD to describe the narcotic-like effects on the plant MANDAGORA. The term subsequently was defined in Bailey's An Universal English Dictionary (1721) as "a defect on sensation" and again in the Encyclopedia Britannica (1771) as "privation of the senses". The present use of the term to denote the sleeplike states that makes painless surgery possible is credited to OLIVER WENDELL HOLMES in 1846.

Anesthesia as we know it started in the early to mid 1840s.

Crawford Long of Jefferson, Georgia, removed a small tumor from a patient under diethyl ether anesthesia. That was in 1842. Crawford Long failed to publish this event, and he was denied the fame of having been the first to use diethyl ether as a surgical anesthetic. Ether was not unknown; students inhaled it during the so-called ether frolics.

Horace Wells had used nitrous oxide in his dental practice. In 1844, he failed to demonstrate the anesthetic effects of N2O in front of a critical medical audience. The patient, a boy, screamed during the extraction of a tooth, and the audience hissed. Later, the boy said that he had not felt anything. Excitement under light nitrous oxide anesthesia is common. Horace Wells died young and by his own hand.

William T. G.Morton, another dentist in anesthesia's history, successfully etherized a patient at theMassachusetts GeneralHospital inBoston on October 16, 1846. The news of this event spread worldwide as rapidly as the communication links permitted.Morton tried to patent his discovery under the name of Letheon. An English barrister later wrote: ". . . a patent degrades a noble discovery to the level of a quack medicine."

Oliver Wendell Holmes, only 2 months afterMorton's epochal demonstration of surgical anesthesia, suggested the term "anesthesia" to describe the state of sleep induced by ether. Holmes was a physician, poet,humorist and, fittingly, finally dean of Harvard Medical School.

John Snow, from London, became the first physician to devote his energies to anesthetizing patients for surgical operations. His earliest experiences with ether anesthesia date to late 1846. In 1853, he administered chloroform toQueen Victoria for the delivery of her son Prince Leopold. This shook the acceptance of the divine command: "in sorrow thou shalt bring forth children"(Genesis 3:16) and thus powerfully furthered the use of anesthesia to alleviate the pain of childbirth. Incidentally, while anesthesiologists admire John Snow for his publications and the design of an etherizer, epidemiologists claim him as one of their own because he had recognized the source of a cholera epidemic, which he traced to a public pump. By removing the pump's handle, he stopped the spread of the infection. That was in 1854. Those were the beginnings. By now, the two earliest anesthetic vapors, diethyl ether and chloroform, have been modified hundreds of times.Many descendants havecomeandgone, but their great-grand children still finddaily use. Intravenous
drugs have secured an increasingly prominent place in anesthesia, among them neuromuscular blockers - hailing back to South American Indians and their poisoned arrows shot from blow guns.Asteadily growing pharmacopeia of analgesics, hypnotics, anxiolytics, and cardiovascular drugs now fill the drug cabinets.

We still listen for breath sounds,we still watch color and respiration, and we still feel the pulse, but today we are helped by the most subtle techniques of sensing invisible signals and the most invasive methods with tubes snaking through the heart.

When we reduce the history of anesthesia to a few dates and facts, we do not do justice to the stories of the age-old and arduous struggle to alleviate pain. Inone of the more comprehensive books on ‘TheGenesis of Surgical Anesthesia', you will find a superb description of the interesting personalities and the many events that eventually paved the way to one of the greatest advances in medicine, the discovery of anesthesia.2 The book brims with anecdotes, for example the story of a woman in 1591 accused of witchcraft. One of the indictments was for her attempt to ease the pain of childbirth. She was sentenced to be "bund to ane staik and brunt in assis (ashes), quick (alive) to the death". Why society's acceptanceof pain relief changed and howobstetrical anesthesia eventually developed is the subject of another great historical book by Donald Caton.



Source:
1. Morgan, G. Edward et al. Clinical Anesthesiology. 2006; McGraw Hill, USA. page 1.
2. Essential Anesthesia From Science to Practice(Essential Medical Texts for Students and Trainees)
3. others resources.