Rabu, 28 April 2010

Basic of Pain: The Fifth Vital Sign











1. Definisi nyeri
Nyeri adalah sesuatu yang amat kompleks, dan karenanya nyeri mempunyai banyak definisi. IASP (International Association The Study of Pain) menerjemahkan nyeri yang terjemahannya kurang lebih berbunyi “nyeri adalah suatu sensasi dan atau pengalaman emosional yang tidak menyenangkan serta mengganggu sebagai akibat adanya kerusakan jaringan, atau yang berpotensi terjadinya kerusakan jaringan atau sesuatu yang berarti kerusakan”

2 Klasifikasi Nyeri
Nyeri organik dibagi menjadi:
a.Nyeri nosiseptif; yaitu nyeri somatik dan visera yang disebabkan oleh rangsang perifer pada sisi trauma atau inflamasi. Nyeri ini biasanya responsif terhadap opioid dan obat NSAID (Nonsteroid Antiinflamation Drugs).
b.Nyeri neuropatik; yaitu nyeri yang tidak disebabkan oleh rangsang nosiseptif misalnya karena adanya kerusakan saraf akibat penyakit atau penekanan saraf oleh tumor. Nyeri ini biasanya kurang responsif terhadap opioid dan lebih responsif terhadap obat golongan antidepresan golongan trisiklik2,3,6,7,8.


Menurut timbul dan durasinya nyeri dibagi menjadi:
1.Nyeri akut: nyeri yang segera terjadi untuk waktu yang singkat.
2.Nyeri khronik: nyeri yang terjadi setelah cedera sembuh.

Penelitian yang terakhir menyebutkan bahwa nyeri akut yang tidak ditanggulangi dengan baik akan berkembang menjadi nyeri khronik (Carr dan Goudas 1999).

Menurut kecepatan transmisi ada dua macam nyeri, yaitu:
1.Nyeri cepat; disebut juga first pain, yaitu nyeri yang segera terjadi ketika ada rangsang dan segera berakhir ketika rangsang dihentikan. Hantaran nyeri ini melalui serabut saraf halus bermielin tipe A delta dengan kecepatan hantaran 12-30 m/ detik.
2.Nyeri lambat; disebut juga second pain, yaitu nyeri dengan karakteristik berdenyut, terbakar dan sakit (aching) yang sukar ditentukan lokasinya dan akan terus berlanjut walaupun rangsangan telah dihentikan. Hantaran nyeri ini melalui serabut tidak bermielin tipe C dengan kecepatan hantaran 0,5-2 m/detik2,3,6,7,8.

Fenomena nyeri ini merupakan persepsi subjektif terhadap perbedaan kecepatan hantaran dari dua macam serabut ini. Serabut saraf untuk termal mengikuti jalur yang sama dengan serabut nyeri dengan ambang ransang 430 celcius.

3 Patofisiologi Nyeri
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan. Nyeri akan membantu individu untuk tetap hidup dan melakukan kegiatan secara fungsional.
Nyeri pada umumnya dapat dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu: nyeri adaptif dan nyeri maladaptif. Nyeri adaptif berperan serta dalam proses bertahan hidup dengan melindungi organisme dari cedera berkepanjangan dan membantu proses pemulihan. Sebaliknya, nyeri maladaptif merupakan bentuk patologis dari sistem saraf.
Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksious yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui spinalis, batang otak, talamus, dan korteks cerebri2,3,8.

Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya, dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak. Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitivitas akan meningkat, sehingga stimulus nonnoksious atau noksious ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Sebagai akibatnya, individu akan mencegah adanya kontak atau gerakan pada bagian yang cidera tersebut sampai perbaikan jaringan selesai. Hal ini akan meminimalisasi kerusakan jaringan lebih lanjut. Nyeri inflamasi merupakan bentuk nyeri yang adaptif namun demikian pada kasus-kasus cedera elektif (misalnya: pembedahan), cedera karena trauma, atau rheumatoid arthritis, penatalaksanaan yang aktif harus dilakukan. Respon inflamasi berlebihan atau kerusakan jaringan yang hebat tidak boleh dibiarkan. Tujuan terapi adalah menormalkan sensitivitas nyeri.
Nyeri maladaptif tidak berhubungan dengan adanya stimulus noksious atau penyembuhan jaringan. Nyeri maladaptif dapat terjadi sebagai respon kerusakan sistem saraf (nyeri neuropatik) atau sebagai akibat fungsi abnormal sistem saraf. Berbagai mekanisme yang mendasari munculnya nyeri telah ditemukan, mekanisme tersebut adalah: nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi.

Pada kasus nyeri nosiseptif terdapat 4 tahap proses, yaitu:
1.Transduksi
Transduksi merupakan konversi stimulus noksious termal, mekanik, atau kimia menjadi aktivitas listrik pada akhiran serabut sensorik nosiseptif. Proses ini diperantarai oleh reseptor kanal ion yang spesifik.
Rangsang yang dapat membangkitkan rasa nyeri umumnya disebabkan oleh rangsang mekanik atau termal, tetapi dapat juga disebabkan oleh produk kimia dari jaringan yang rusak. Pada dasarnya produk kimia tersebut dihasilkan oleh 3 sumber, yaitu:
1.Rangsang berasal dari sel-sel rusak berupa Kalium, asetilkolin, dan Prostaglandin (PG).
2.Berasal dari ektravasasi plasma atau migrasi limfosit berupa bradikinin (BK).
3.Berasal dari degranulasi trombosit dan mastosit berupa serotonin dan histamin (H).
Produk-produk kimia tersebut menimbulkan rangsang pada ujung-ujung saraf (nosiseptor) untuk memproduksi suatu polipeptida yang disebut sebagai substansi P (SP).
Antara produk kimia yang dikeluarkan oleh sel rusak dan ektravasasi plasma (PG/BK/KH) dengan substansi P yang dihasilkan oleh ujung nosiseptor terjadi suatu umpan balik positif, yaitu SP akam merangsang timbulnya PG/BK/H, dan sebaliknya PG/BK/H akan memicu dikeluarkannya SP dari nosiseptor sehingga akan terus memperbanyak produksi prostaglandin yang berperanan penting dalam proses inflamasi jaringan dan sensitisasi nosiseptor. Rangsangan pada nosiseptor ini akan dialirkan ke nosiseptor di sekitar daerah insisi operasi/ inflamasi dan akan menimbulkan umpan balik positif yang serupa, sehingga terjadi nyeri pada tempat tersebut. Hal ini mungkin menjelaskan proses timbulnya hiperalgesia sekunder pada daerah sekitar inflamasi.
Aplikasi lokal anestesi secara infiltratif akan memblok nosiseptor sehingga tidak akan bereaksi terhadap PG/BK yang timbul akibat kerusakan sel akibat insisi di daerah tersebut. Nosiseptor tersebut tidak akan mengeluarkan SP dan ini berarti terpotongnya siklus umpan balik positif, sehinggga kadar PG akan menurun yang berakibat menurunnya rasa nyeri dan proses inflamasi.
Obat-obat analgesik lain seperti NSAID akan menghambat pembentukan prostaglandin pada jaringan yang mengalami inflamasi sehingga efek analgesik NSAID yang terjadi bergantung pada kemampuannya untuk mencegah terbentuknya prostaglandin di perifer.
Dasar pemikiran inilah yang menjadi landasan analgesia pre-emptive, yaitu mengatasi rasa nyeri sebelum terjadi2,3,8,9.

2.Transmisi
Transmisi merupakan aktivitas serabut saraf menyusul proses transduksi berupa penyaluran rangsang noksius melalui serabut saraf sensorik aferen ke tingkat yang lebih tinggi.

Serabut saraf sensoris ini ada dua macam yaitu:
1.Serabut saraf A delta, yang menghantarkan rasa nyeri yang tajam dan terlokalisir serta berlangsung singkat disebut sebagai konduksi cepat.
Serabut saraf A delta akan bersinaps pada Lamina Rexed (LR) I (zona Marginal), LR II (substantia Gelatinosa) dan LR V (nukleus proprius) di kornu dorsalis, dan LR X (kanalis sentralis), kemudia berganti dengan neuron kedua menyeberang ke depan bergabung dengan traktus neospinotalamikus langsung ke talamus. Informasi yang dihantarkan oleh traktus ini bersifat cepat, tajam, dan terlokalisir, yang oleh Melzack dan Dennis disebut sebagai fase fasik.

2.Serabut saraf C yang membawa nyeri tumpul, dalam, dengan lokasi yang tidak terlokalisir dan bereaksi lama, sehingga konduksi lambat.
Serabut saraf C bersinaps pada LR I, II, dan V tetapi sebagian besar bersinaps pada substansia gelatinosa dimana neuron keduanya akan bergabung pada traktus paleospinotalamikus yang sebelum tiba di talamus sebagian akan diproyeksikan ke formasio retikularis. Informasi nyeri yang dihantarkan oleh traktus ini bersifat informatif dari pengalaman nyeri yang bersifat tumpul, dalam, tidak terlokalisir yang disebut fase tonik.

Pada dasarnya tiap konduksi nyeri mula-mula akan dihantarkan oleh saraf A delta yang konduksinya lebih cepat kemudian akan diikuti oleh hantaran serabut C yang konduksinya lebih lambat.

3.Modulasi
Modulasi merupakan aktivitas saraf yang akan mengontrol rangsang noksius sebelum dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Kemampuan sel-sel saraf pada kornu dorsalis dari medula spinalis akan memodulasi rangsang noksius sebelum dilanjutkan ke atas sehingga akan memberikan perbedaan persepsi nyeri terhadap suatu rangsang noksius yang sama. Aktivitas sel-sel saraf inilah yang menjelaskan mengapa seseorang dapat memiliki persepsi yang berbeda terhadap suatu perlukaan yang sama.
Modulasi ini dapat terjadi di tingkat perifer, spinal, maupun sentral. Modulasi nyeri merupakan keseimbangan antara rangsang eksitator dan inhibitor yang diterima oleh masing-masing yang kemudian akan diteruskan ke sentral melalui sistem limbik sampai dengan korteks serebri.
Kornu dorsalis amat kaya dengan neurotransmitter. Aktivasi dari serabut C akan menghasilkan pelepasan dari banyak asam amino dan peptida yang akan merangsang sel di kornu dorsalis. Substansi ini antara lain adalah glutamat, substansi P, neurokinin, dan CGRP.
Fenomena ini dapat dicegah dengan premedikasi opioid (yang akan menghambat input serabut C yang hendak masuk ke kornu dorsalis) dan antagonis reseptor glutamat.
Tiga jalur yang terdapat antara struktur midbrain dan kornu dorsalis, yang mengurus modulasi impuls nyeri yang timbul dari sistem saraf perifer, yaitu:
1.Berasal dari raphe magnus
2.Berasal dari nukleus lokus seruleus di pons
3.Berasal dari nukleus Edinger Westphal.

Ketiga jalur ini turun (desenden) berakhir dan menghambat nyeri yang direspon neuron di kornu dorsalis. Bila diaktivasi ketiga jalur ini akan melepaskan serotonin, noreponefrin, dan kholesistokinin. Periakuaduktal kelabu (PAG) membuat hubungan ketiga jalur ini. PAG amat kaya dengan reseptor opiat, dan bila reseptor ini diaktifkan maka PAG akan mengaktifkan ketiga jalur ini untuk memodulasi nyeri yang masuk kornu dorsalis. Reseptor PAG ini dapat diaktifkan oleh pelepasan endorfin endogen atau pemberian opioid eksogen. Pelepasan endorfin endogen dapat dipicu oleh nyeri dan stres.
Kornu dorsalis dari medula spinalis juga kaya akan reseptor opiat, yang berada di lamina II dan bila dirangsang, akan menghasilkan inhibisi/ supresi terhadap aktivitas serabut C yang masuk ke kornu dorsalis.
Glisin, suatu inhibitor asam amino akan dilepaskan melalui aktivasi serabut aferen besar. Serabut besar mempunyai pengaruh eksitasi yang kuat terhadap sel substansia gelatinosa kornu dorsalis, tetapi gagal untuk mendapatkan efek noksius karena adanya aktivasi dari interneuron glisinergik. Fenomena ini menjadi contoh teori nyeri “gate control”.
Aktivasi serabut besar bermielin akan menghambat aktivitas serabut C yang masuk, karenanya ransangan TEN yang menstimulasi serabut besar dapat memicu mekanisme pengurangan nyeri (pain relief). Seringkali rasa nyeri dapat berkurang dengan mengusap-usap daerah yang sakit.
Cedera pada saraf perifer (misalnya karena trauma, postherpes, dan diabetik neuropati) akan menyebabkan ketidakseimbangan input neuron di medulla spinalis dan menghasilkan nyeri khronis2,3,8,9,10.

4.Persepsi
Persepsi merupakan proses akhir yang berupa aktivitas saraf sensorik yang menghasilkan persepsi nyeri yang bersifat subjektif. Nilai-nilai budaya, sugesti hipnotik,dan aktivitas kognitif dapat juga secara bermakna menentukan intensitas nyeri.
Nukleus talamus medialis dan posterior menerima input dari traktus paleospinothalamikus dan diproyeksikan pada daerah korteks asosiasi. Sistem ini mengurus fungsi afektif pada persepsi nyeri dan mengatur emosi atau perasaan tidak nyaman terhadap rangsang noksius tersebut. Sistem ini juga mengaktifkan sistem limbik yang menerangkan mengapa individu yang berbeda akan merespon berbeda pada rangsang noksius yang sama. Informasi nyeri yang datang dari talamus akan disebarkan ke otak di daerah somatosensorik korteks serebri2,3,8,9.

Pada proses nyeri terhadap 2 sensitisasi yaitu sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral.
1.Sensitisasi perifer
Cidera dan inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosin trifosfat dan ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine, dan faktor pertumbuhan. Beberapa komponen tersebut di atas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators), dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsang berikutnya (nociceptor sensitizers).
Sebagai contoh: adenosin trifosfat dilepaskan oleh sel yang cedera dan merangsang reseptor purin P2x3, dan mengaktifkan nosiseptor. Proton berikatan pada reseptor V1, dan menghasilkan nyeri beberapa waktu setelah cedera. Prostaglandin E2 (sebuah bentuk prostanoid) dan nerve growth factor berikatan pada reseptor prostaglandin E dan tirosin kinase A, menyebabkan sensitisasi tanpa langsung menimbulkan nyeri. Bradikinin akan mengaktifkan dan mensensitisasi nosiseptor dengan berikatan pada reseptor B2.
Produksi prostanoid pada tempat cedera merupakan komponen utama reaksi inflamasi. Prostanoid terbentuk dari asam arakidonat dari membran fosfolipid dengan bantuan fosfolipase A2. Cyclooxygenase-2 (COX-2) berperan mengonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin H, yang kemudian dikonversi menjadi spesies prostanoid yang spesifik, misalnya prostaglandin E2. Cyclooxygenase-2 (COX-2) dipicu oleh interleukin 1-IL1 dan tumor necrosis factor-α (TNF-α), yang keduanya terbentuk beberapa jam setelah permulaan inflamasi, sehingga obat antiinflamasi yang selektif menghambat COX-2 tidak efektif pada nyeri nosiseptif atau inflamasi yang berlangsung cepat. Obat demikian bisa efektif pada kondisi nyeri kronis (misalnya: rheumatoid arthritis), dimana COX-2 ada secara kronik sebagai respon inflamasi yang menetap.
Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Aktivasi adenil siklase oleh prostaglandin E akan meningkatkan kadar adenosin monofosfatsiklik, dan mengaktifkan protein kinase A. Protein kinase A dan protein kinase C akan menfosforilasi asam amino serine dan threonin. Fosforilasi akan menyebabkan perubahan aktivitas reseptor dan ion channel yang dramatik. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitasi akan muncul secara bersamaan (prostaglandin E2, nerve growth factor, dan bradikinin), blokade hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang, dan berperan besar dalam meningkatkan sensitivitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.

2.Sensitisasi sentral
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggungjawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cedera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sinaptik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke medula spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron (transcription dependent). Secara umum proses sensitisasi sentral serupa dengan sensitisasi perifer. Diawali dengan aktivasi kinase intraseluler, memacu fosforilasi saluran ion dan reseptor, dan terjadi perubahan fenotip neuron. Sensitisasi sentral dan perifer merupakan bentuk plastisitas sistem saraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan).
Pada keadaan aliran sensoris yang masif akibat kerusakan hebat jaringan, dalam beberapa detik neuron di medula spinalis akan menjadi hiperresponsif. Reaksi ini menyebabkan munculnya nyeri akibat stimulus non noksious (misalnya: nyeri akibat sentuhan ringan), dan terjadinya hiperalgesia sekunder (nyeri pada daerah sekitar jaringan yang rusak).
Sensitisasi sentral hanya membutuhkan aktivitas nosiseptor yang singkat dengan intensitas yang tinggi, misalnya: irisan kulit dengan scalpel. Sensitisasi sentral dapat juga terjadi akibat sensitisasi nosiseptor akibat inflamasi, dan aktivitas ektopik spontan setelah cedera saraf.
Sensitisasi sentral merupakan urutan kejadian di kornu dorsalis yang diawali dengan pelepasan transmiter dari nosiseptor, perubahan densitas reseptor sinaptik, perubahan ambang, yang kesemuanya secara dramatis meningkatkan transmisi nyeri. Salah satu reseptor yang berperan utama dalam perubahan ini adalah reseptor NMDA. Selama proses sensitisasi sentral, reseptor ini akan mengalami fosforilasi, dan meningkatkan kepekaannya terhadap glutamat. Respon berlebih pada glutamat ditandai oleh hilangnya blokade ion Mg2+ dan terjadi pembukaan saluran ion yang lebih lama.
Eksitabilitas membran dapat diaktifkan baik oleh input yang di bawah (subtreshold), dan respon berlebih pada input di atas ambang (supratreshold). Fenomena ini menyebabkan munculnya nyeri pada rangsang yang di bawah ambang (allodinia), dan respon nyeri berlebih akibat rangsang nyeri (hiperalgesia), serta perluasan sensitivitas area yang tidak cedera (hiperalgesia sekunder) 3,9.

4 Tatalaksana Nyeri Inflamasi Akut
Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah NSAID, coxib, analgetika opioid atau non opioid, dan analgetika adjuvan. Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya. Pada penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat. Prinsip pengobatan nyeri akut dan berat (nilai Visual Analogue Scale = VAS 7-10) yaitu pemberian obat yang efek analgetiknya kuat dan cepat dengan dosis optimal. Pada nyeri akut, dokter harus memilih dosis optimum obat dengan mempertimbangkan kondisi pasien dan keparahan nyeri. Pada nyeri kronik, dokter harus mulai dengan dosis efektif yang serendah mungkin untuk kemudian ditingkatkan sampai nyeri terkendali. Pemilihan obat awal pada nyeri kronik ditentukan oleh keparahan nyeri. Protokol ini dikenal dengan nama WHO analgesic ladder.

Nyeri akut merupakan gejala dimana intensitas nyeri berkorelasi dengan beratnya lesi atau stimulus. Cedera jaringan atau inflamasi akut akan menyebabkan pengeluaran berbagai mediator inflamasi, seperti: bradikinin, prostaglandin, leukotrien, amin, purin, sitokin, dan sebagainya yang dapat mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor secara langsung atau tidak langsung.3,6,7 Sebagian dari mediator inflamasi tersebut dapat langsung mengaktivasi nosiseptor dan sebagian lainnya menyebabkan sensitisasi nosiseptor yang menyebabkan hiperalgesia.
Mekanisme nyeri akut diawali oleh transduksi yang mengubah sinyal-sinyal noksious kimiawi menjadi potensial aksi. Potensial aksi terjadi oleh karena depolarisasi membran sebagai akibat pembukaan saluran natrium. Obat-obat yang menstabilkan membran (misalnya: anestesi lokal) dapat menghambat pembentukan potensial aksi dari nosiseptor. Obat-obat antiinflamasi nonsteroid mencegah transduksi dengan menghambat berbagai mediator inflamasi.

DAFTAR PUSTAKA

1.J.P. Des borough. The Response Stress to Trauma and Surgery. Advanced search. http. BJA. com. British Journal of Anesthesia. Accessed March 22, 2010.
2.Morgan, EG., Mikhail, MS., Murray, MJ., Clinical Anesthesiology. 4th edition. Mc Graw-Hill Companies, Inc. 2006; 400.
3.Stoelting, R.K., Miller,. Basics of Anesthesia 5th ed. Churchill Livingstone Elsevier, Philadelphia. 2007; 639.
4.Kaplan, Reich, lake Konstadt. Kaplan’s Cardiac Anesthesia. Elsevier, Phladelphia. 2006; 84-5.
5.Bradikardia. www.wrongdiagnosis.com/b/bradycardia. Accessed December 10, 2009.
6.IASP. Pain 2002-An updated review.Refresher course syllabus. San Diego,IASP Press. 2002: 205-215.
7.The American Pain Society. Pain: Current undestanding of Assesment, Management, and Treatments. American Pain Society. 2006.
8.Bagianto, Hari. Pengaruh Defisiensi Seng terhadap Respon Nyeri (Pendekatan Molekuler pada Penelitian menggunakan Tikus Sprague Dawley). Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya, 2005.
9.Meliala L, Pinzon R. Breakthrough in Management of Acute Pain. Bagian IP Saraf FK UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta SMF Saraf RS Bethesda Yogyakarta. Advanced Search: http://www.dexa-Medica.com/images/publication_upload. April 9th, 2010.
10.Rehatta M, Sulystiono H. Nyeri Kanker. Anestesiologi Indonesia. Volume: 1, Nomor 2, Agustus 2000. Bagian Anestesiologi FKUI/ RSCM. Jakarta; 2000.
11.American Heart Association (AHA). Circulation. Management of Symptomatic Bradycardia and Tachycardia. Journal of The American Heart Association. Volume 112, issue 24 supplement. Dallas; Desember 13th, 2005.
12.Demetriades D, et al. Relative bradycardia in patients with traumatic hypotension. Department of Surgery, University of Southern California, Los Angeles 90033, USA. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. 1998. Accessed April 9th, 2010.
13.Thompson D, Adams SL, Barrett J. Relative bradycardia in patients with isolated penetrating abdominal trauma and isolated extremity trauma. Section of Emergency Medicine. 1990 Mar;19(3):268-75
14.Thomas. Lesson of the week: Bradycardia in acute haemorrhage. BMJ Publishing Group Ltd. 2004. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles. April 9, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar